Kalau sudah jadi orang, aku ingin seperti Kiyai Marzuqi separuh dan seperti Kiyai Mahrus separuh" Demikan cita-cita yang terucap dari KH. Muhammad Subadar pada teman-teman beliau waktu masih menimba ilmu di Pesantren Lirboyo. Bukanlah hal yang aneh jika Kiyai Mihammad Subadar dan pasti banyak santri yang lain bercita-cita ingin seperti kedua Kiyai tersebut. Karena memang keduanya adalah sosok yang dijanjikan kedudukan yang tinggi di sebut dalam sabda Rosulullohh SAW.
من علم وعلم وعمل فذلك يدعى عظيما في ملكوت السموات
Pada kesempatan kali ini MADING ROHAH megajak para pembaca, untuk sedikit menelusuri sisi kehidupan KH. Marzuqi Dahlan, agar dapat menteladani serta mengharap barokah dari beliau.
Kediri adalah kota bekas kerajaan yang cukup prestise. Kebesarannya tak banyak yang tersisa. Agaknya hanya sungai Brantas yang masih setia menglir membelah kota. Sungai yang luas dan hampir tak beriak itu seakan menyimpan sejarah masa silam yang gemuruh. Gemercik air diiring dengan desah tetumbuan ditepiannya bak simphoni indah menabur damai. Kedamain itu terasa berhembus di Banjarmelati, sebuah dusun kecil ditepi barat sungai Brantas. Dusun yang terletak kurang lebih satu kilometer dari pusat kota ini mempunyai sejarah tersendiri di kalangan pesantren. Beberapa ulama pesantren kondang di Kediri lahir di sini. Di antaranya adalah KH. Marzuqi Dahlan, salah satu generasi penerus pengasuh pesantren Lirboyo yang juga guru KH. Muhammad Subadar. Dengan ilmu yang begitu dalam dan luas, tindak tanduk yang tenang dan bersahaja, beliau hampir tidak menunjukkan seorang alim allamah. Wajah beliau adalah cerminan kesejukan dan kedamaian lingkungan sungai Brantas, tempat beliau lahir dan dibesarkan.
Tahun 1906 M. Nyai Artimah melahirkan seorang bayi mungil dan diberinama Marzuqi. Dia terlahir dari rahim sang ibu yang juga telah melahirkan ulama besar bernama KH. Ihsan Al-Jampasi,pengarang kitab Siroj al-tholibien, syarah kitab Minhaj al-Abidien karya al-Ghozali. Marzuqi yang kemudian dikenal dengan Gus Juqi itu dibesarkan dan berkembang dilingkungan pesantren yang cukup sarat dengan alim ulama. Dia selalu mendapat pengawasan dan bimbingan dari para Kiyai, terutama kakeknya, Kiyai Sholeh. Baru setelah Gus Juqi mmenginjak usia belajar, dia pindah ke Jampes atas permintaan ayahandanya Kiyai Dahlan. Mungkin sang ayah ingin agar dapat mengawasi langsung putra ragilnya yang amat beliau sayangi itu. Namun dengan alasan tidak betah, akhirnya Gus Juqi kembali pulang ke Banjarmelati, tanah kelahiranya. Tentu hal itu membuat Kiyai Sholeh makin ketat dalam membimbing cucu kesayangannya itu. Sang kakek cukup intensif mengajarnya berbagai dasar ilmu. Seperti Al-Qur'an, Kaidah dan ilmu Akhlaq. Baru setelah menginjak usia remaja beliiau dipondokkan ke Lirboyo, pesantren yang di asuh pamandanya sendiri KH. Abd. Karim. Inilah pesantren pertama yang disinggahi Gus Juqi dalam menempuh perjalanan panjang tholabul Ilmi. Tetapi belum puas ia mereguk ilmu di Lirboyo, Ayahandanya sekali lagi memitanya agar ia pindah ke Jampes. Namun entahlah, lagi-lagi ia tidak betah tinggal di sana. Diam-diam tampa sepengetahuan ayahandanya dia pergi untuk berkelana menuntut ilmu tampa bekal sedikitpun kecuali sebuah CENGKIR (kencenge pikir ) Kepergian Gus Juqi ternyata tidak jauh, dia hanya ke Jombang untuk nyantri di pesantren yang di asuh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy'ari. Lama-lama sang ayah tidak tega membiarkan putranya dan kemudian menjemputnya untuk mau diajak pulang. Karena keinginan Gus Juqi yang begitu kuat untuk terus mengejar ilmu, dia lebih memilih menyusul pamannya yang mondok dii Mojosari, Nganjuk. Belum lama di sana pamannya pulang, Gus Juqi pun turut boyong, padahal baru dua bulan dia di pesantren tersebut. Dari Mojosari kemudian Gus Juqi meneruskan nyantri di pesantren asuhan Kiyai Khozin Bendo, Pare. Kediri. Cukup lama dia dipesantren itu. Hingga berusia dua puluh tahun.
Sementara di Jampes sang kakak Kiyai Ihsan Al-Jampasi sudah di kenal sebagai alim allamah dii bidang Tashawwuf.Gus juqi pun pulang untuk memperdalam dan menggeluti dunia shufi pada sang kakak. Setelah cukup lama, kedua kaka beradik itu dikenal piawai dan ahli dalam hal tashawwuf.
Menuntut Ilmu adalah Ibadah. Kemauan keras, ketekunan dan riyadhoh mengekang hawa nafsu mutlaq dibutuhkan. Sehabis makan dia menelaah kitab hingga berjam-jam. Kitabnya penuh dengan makna. Bahkan lafadzyang paling mudahpun di beri makna. Dari gemarnya beliau menelaah kitab, beliau sudah pernah menghatamkan kitab jam’ul Jawami’ sampai tujuh puluh kali. Selain itu, pergi berziarah ke makam-makam auliya’ adalah hal yang paling beliau suka untuk tabarrukan. Pada suatu hari, ketika beliau belajar dimakam Kakek buyutnya di Banjarmelati, beliau tak mampu menahan kantuk yang amat berat hingga akhirnya beliau tertidur. Dalam tidurnya, beliau bermimpi ditemui kakek buyutnya dan berpesan agar terus nyantri di pondok Lirboyo, kerena di masa yang akan datang beliaulah yang yang bakal menjadi penerus pesantren tersebut.
Setangkai padi adalah perlambang orang yang berilmu, Semakin berisi semakin merunduk, semakin alim semakin tawdhu’. Begitulah Gus Juqi yang telah menjadi Kiyai, setelah berguru di berbagai pesantren, seperti Lirboyo, Jampes, Tebuireng, Mojosari dan Bendo, Beliau tidak sedikitpun menampakkan kealimannya. Namun KH. Abd. Karim tidak sedikitpun meragukan kealiman beliau. Hanya Tawadhu’ lah yang membuat beliau nampak biasa saja. Justru hal itulah yang membuat KH. Abd. Karim menaruh hati dan menjadikannya sebagai menantu untuk dijodohkan denga putri beliau yang bernama Maryam. Dari perkawinan ini Beliau dikaruniai delapan putra dan putri. Namun sayang, keluarga yang penuh bahagia dan penuh berkah itu, harus menerima kenyataan pahit dengan wafatnya Ibunda tercinta Nyai Maryam. Kemudian Kiyai Marzuqi menikah lagi dengan adik iparnya sendiri, yaitu Nyai Qomariah. Dari pernikahan ini beliau dianugerahi saorang putra yang diberi nama Hasyim. Tetapi ia meninggal ketika masih bayi.
Pelaku tashawwuf yang telah mencapai puncak, sering hanyut di alam ruhani, menjahuahkan diri dari alam lahiriyah dan mengekang hawa nafsu duniawi. Dalam segala hal beliau nampak jauh dari kemewahan. Pernah pada suatu hari sang istri ingin menyaksikan suaminya tampil agak necis, diam-diam Nyai Qomariah membawa baju piyama yang sudah lusuh ke tukang setrika. Tetapi di luar dugaan, baju tersebut dihujan-hujankan terlebih dulu sebelum dikenakannya. Cukup aneh pula, Jika beliau mendapat sesuatu yang mewah, beliau menjadikannya tidak lagi brharga. Suatu saat pernah ada seseorang yang menghadiahkn kain bahan jas yang halus pada beliau. Namun kain yang tentu cukup mahal harganya itu beliau jadikan celana kolor.
Dipesantren menguji seorang guru tentu tidaklah lumrah. Walau dalam keilmuan, bisa saja seorang murid beradu pendapat dengan gurunya, namun kalau sampai mermaqsud ngetes itu berarti sudah melampaui batas kesopanan. Justru hal itu pernah dialami Kiyai marzuqi yang diuji oleh sebagian santri senior yang sedikit meragukan keahlian beliau. Pada tahun 1957 M. tercetus sebuah kesepakatan, semua pengurus pondok memohon pada beliau agar menggelar pengajian Ihya’ Ulumuddin. karya Al-Ghozali. Meskipun sebenarnya beliau telah menguasai ilmu tersebut, beliau berlagak menolak. “Suk wae sing moco ben Idris” tutur beliau kalem. Padahal Idris yang dimaqsud adalah putra pertama beliau yang saat itu masih kecil. Tepanya pada hari Jum’at 25 Januari 1957 beliau memulai pengajianya. Para santri berkumpul di tempat yang telah ditentukan dan menunggu Kiyai Marzuqi yang agak lama tidak kunjung hadir. Sempat ada kebimbangan dari sebagian santri akan kemampuan Kiyainya mengajarkan kitab Ihya’ yang terkenal rumit itu. Namun, betapa terkejutnya, ketika sepasang mata mereka melihat sang kiyai turun dari dokar dengan membawa empat jilid kitab Ihya’ yang baru dibelinya dari pasar. Tampa persiapan sedikitpun kiyai Marzuqi membuka pengajiannya, bahkan beliau membawa silet untuk menyobek lembaran kertas kitab Ihya’ yang masih lengket. Seketika, hilanglah kebimbangan mereka akan kealiman Kiyai Marzuqi.
Tahun 1973 M. Kiyai Marzuqi menunaikan ibadah Haji. Dua tahun setelah melakukan perjalanan ke tanah suci, kondisi kesehatan beliau sering terganggu. Sementara tugas mulia sebagai pengasuh pesantren yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu, tenaga dan pikiran beliau. Tidak kurang dari 2500 santri yang saat itu tengah mengais butir-butir mutiara ilmu di hadapan beliau. Keletihan mengabdi pada Agama, lambat laun terasa membekas pada beliau. Hari Rabu akhir bulan Syawwal 1975 M. beliau jatuh sakit. Suasana ceria selepas lebaran itu tiba-tiba menjadi hening. Dan sendu. Sampai memasuki minggu kedua bulan Nopember tahun itu, sakit beliau semakin menghawatirkan. Akhirnya atas kesepakatan ahli bait, beliau dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Kediri, untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Namun, sepekan menjalani opname, kondisi beliau tak kunjung membaik, bahkan harapan untuk sembuhpun kian menipis. Usia beliau memang sudah lanjut. Hampir tujuh puluh tahun. Karena itu pada hari ke enam di Rumah Sakit, pihak keluarga bermaksud membawa bilau pulang. Keinginan itu pun direstui oleh dokter yang selama ini menangani beliau. Tepatnya pada 17 Nopember, sekitar pukul 20:30 Wib, beliau sudah dipindahkan ke Rumah kediaman di Lirboyo. Dan malam itu juga seluruh keluarga berkumpul menunggui beliau yang sedang kritis. Sementara para santri tidak henti-hentinya malantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan do’a-do’a untuk beliau hampir semalam suntuk. Keesokan paginya, Selasa 24 Dzul Qo’dah/18 Nopember 1975 rupanya Alloh SWT telah menggariskan ketentuan-Nya atas beliau. Di pagi yang cerah itu, dengan Husnul Khotimah beliau menghembuskan nafasnya yang terahir Inna Lillahi Waa Inna Ilaihi Roji’un. Gumpalan mendung duka menyelimuti Lirboyo saat itu. Gerimis tangis mulai membasahi suasana. Para pelayat yang ingin ikut serta memberikan penghormatan terakhir untuk sang Kiyai segera berdatangan membanjiri rumah duka. Sholat Jenazah dilakukan di Masjid Lirboyo dengan bergantian sampai berulang kali. Pemakaman baru dapat dilaksanakan pada pukul 14:00 WIB. Sebelum diusung ke area pemakaman jenazah mulia itu dibawa kembali ke ndalem, untuk memberi kesempatan pada keluaraga memberikan penghormatan terakhir. Kemudian jenazah diusung ke pemakaman oleh para ahli bait dan santri tampa keranda. Di pesarean telah siap KH. Manshur yang didampingi dua putra beliau dan keponakan KH. Marzuqi. Beliau bertigalah yang meletakkan jenazah Kiyai Marzuqi di tempat peristirahatan terakhir. Setelah pemakaman, KH. Mahrus Ali membacakan talqin untuk beliau.
Kesunyian sungguh terasa waktu itu. Kepergian Kiyai Marzuqi terasa begitu cepat. Lirboyo telah kehilangan salah satu tiang kokoh yang selama ini menjadi penguat terlaksananya aktifitas tholabul Ilmi. Sebelum wafat, beliau menyampaikan tiga nasehat yang beliau wasiatkan untuk majlis keluarga, pengurus, dewan guru dan para santri untuk tetap dijunjung tinggi dan di Ugemi.
Tiga wasiat beliau adalah :
1. Semua tata tertib dan peraturan pondok pesantren hendaklah ditegakkan dan dipatuhi dan jangan sekali-kali dirubah.
2. Semua santri harus tetap tekun belajar dan mempertinggi Himmah, karena demikian itu berarti sadar dan mau menghidupkan budaya belajar ala Pondok Pesantren.
3. Beliau amat keberatan jika ada santri yang mengalami musibah atau cobaan hidup, lantas kemudian merubah keikhlasan niat menuntut ilmu, bimbag, atau bahkan berbelok menjadi keduniawian.
Wasiat itu jelas mencerminkan bahwa al-Marhum KH. Marzuqi Dahlan selalu mencurahkan segalanya untuk pesantren dan para santri. Beliau salah satu Ulama yang sedikit bicara banyak kerja. Sampai akhir hayat beliau selalu tampil dengan kesederhanaan.
Demikianlah sekelumit sirah KH. Marzuqi Dahlan. Semoga kita senatiasa mendapat barokah ilmunya dan dapat menteladani kepribadian Beliau Amien.