Breaking

Rabu, 23 November 2016

Sampaikanlah walaupun hanya setengah ayat !

Sekilas Tentang Imam Syafi'i

Sekilas Tentang Imam Syafi'i


Silsilah nasab dan kelahiran Imam Syafi'i
Imamuna asy-Syafi'i adalah salah seorang dari empat Imam madzhab resmi yang terkenal dalam Islam ahlus-sunnah wa al-jamaah, yang dikenal dengan madzhab Syafi'i. Tiga madzhab lainnya adalah Madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. Silsilah nasab Imam Syafi'i dari jalur ayah adalah : Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Usman bin Syafi' bin Sa'ib bin Abu Yazid bin Hasyim bin Muthollib bin Abdi Manaf. Silsilah nasab Imam Syafi'i bertemu dengan nasab Rasululloh SAW dari kakeknya, Abdu Manaf. Adapun silsilah nasab beliau dari jalur Ibu adalah : Muhammad bin Fathimah binti Abdulloh bin bin Hasan bin Husain bin Ali bin Abi Tholib. Imam Syafi'i dilahirkan di kota Gaza wilayah Palestina tempat wafatnya Sayyid Hasyim kakek Rasululloh SAW. pada hari Jum'at akhir bulan Rojab 150 H. (Agustus 767 M.). Kelahiran Syafi'i putra bangsawan Quraisy di tangah kehidupan Islam saat itu, sangatlah berarti bagi segenap muslimin. Kehadirannya seakan sebagai pelipur duka mendalam kaum muslimim yang baru ditinggalkan satu pemimpin besarnya, yaitu Imam Abu Hanifah r. a. Hingga kemudian muncullah suatu ungkapan : "Telah terbenam satu bintang, kini terbitlah bintang yang lain "

Syafi’i kecil dalam Tholabul Ilmi.
Dua tahun sudah usia Syafi’i kecil. Masa yang paling indah bagi setiap orang tua yang memiliki putra seumur itu. Lucunya anak yang mulai belajar berbicara menambah kebahagiaan itu. Namun hal itu tidak terjadi pada ibunda Imam Syafi’i. Kerena masa itu adalah masa berduka bagi Syafi’i dan sang bunda. Betapa tidak ! Seorang ayah yang seharusnya menjadi nahkoda bagi perjalanan hidup istri dan  anak-anaknya harus pergi menghadap Sang Khaliq Allah yang Maha Kuasa. Sepeninggal sang ayah, Syafi’i kecil hidup dalam bimbingan dan didikan bunda tercinta. Lalu sang ibu membawanya pindah ke Makkah Al-Mukarromah. Disanalah Syafi'i kecil mulai menuntut ilmu sebagai bekalnya dalam mengarungi kehidupannya kelak. Walau dia hidup terhimpit kemiskinan dan serba kekurangan, namun sejengkalpun tak menyurutkan semangat membaranya dalam meniba pengetahuan. Hidup miskin  bukanlah kendala berarti juga bukan halangan yang merintangi. Bahkan dirasakannya ada suatu kebagian tersendiri menuntut ilmu dalam kondisi serba kekurangan. Hal itu dinyatakannya dalam sebagian maqolahnya:
ما أفلح في العلم إلا من طلبه في القلة
"Tiada kebahagiaan dalam menuntut ilmu, kecuali mereka yang ketika belajar dalam kondisi serba kekurangan "             
      Tak henti-hentinya dia ber istifadahilmu. Tak bosan-bosannya dia datangi majlis-majlis ulama'. Dia selalu mencatat ilmu-ilmu yang telah dia dapat dari guru-gurunya. Sehingga ketika secarik kertaspun tidak dimilikinya, dia mencari tulang, pecahan genteng atau kulit pohon kurma dan ditulisnya ilmu-ilmu itu. Begitu pentingnya catatan bagi Syafi’i karena bila sewaktu-waktu ilmu itu lepas dan hilang dari ingatan dia bisa melihatnya kembali dalam catatannya.
Al-Imam Malik r.a berkata :
العـــلم صيد والكتـابــة قـيـــده         قيد صيودك بالحبال الواثقة
فمن الحماقة أن تصـيد غزالة         وتتركها بين الخلائق طالقة
"Ilmu itu laksana hewan buruan, sedang catatan sebagai pengikatnya.
Ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat.
Suatu kebodohan, jika enkau memburu seekor kijang,
Kemudian engkau lepaskan begitu saja tanpa tali pengikat."
cita-cita Syafi'i kecil yang luar biasa dalam menimba pengetahuan, serta rasa optimisme (percaya diri) yang dibentengi sikap tawakkal kepada Allah SWT, telah mendorongnya menjadi seorang penghafal yang menakjubkan. Sehingga semua  ilmu yang telah ia dengar tidak sedikitpun yang lolos dari rekaman ingatannya. Hal ini terbukti ketika usianya genap 7 tahun, Syafi'i kecil telah berhasil menghafal Al-Qur'an 30 juz.Dan ketika berusia 10 tahun ia sudah mampu menghafal kitab Al-Muwattho'karya Imam Malik. Daya hafalnya yang luar biasa tidak dianggapnya sebagai ujung kemampuanya, tidak pula ia anggap sebagai puncak keberhasilannya, melainkan ia selalu merasa daya hafalnya masih lemah, hingga hal itu ia adukan kepada sebagian gurunya. Disebagian sya'irnya ia lantunkan:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي         فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخــبـرني بــأن الـعــلـم نــور       ونـور الله لا يــهـدى لعـاصي
"Aku mengadu pada kyai Waki' tantang buruknya daya hafalku.
Lalu beliau memberiku nasehat,  supaya kutinggalkan maksiat
Beliau kabarkan bahwa ilmu itu adalah cahaya
Cahaya Allah pada Ahli maksiat tak kanteranuggrah "
Kemudian Syafi'i keluar dari kotaMakkah al-Mukarromah dan mengembara. Dalam pengembaraannya lalu ia bertemu dengan qabilah Hudzail yaitu di Dusun Badui dan disanalah ia mendalami ilmu gramatika Arab, sya’ir dan adat istiadat Arab asli. Berkat ketekunan dan kesungguhannya, kemudian ia dikenal sangat ahli dalam bahasa Arab dan kesastraanya, mahir dalam membuat sya'ir serta sangat dalam pengetahuannya tentang adat istiadat Arab asli.[1]Pada suatu hari Syafi’i sedang memikirkan sebuah sya’ir lalu ia naik dijalan gunung ‘Aqobah. Ditempat yang istimewa itu terdengar suara dari belakangnya. Suara misterius itu berbunyi عليك بالفقه  : (belajarlah ilmu fiqh.)
Setelah mendengar kalimat misterius itu, lalu Syafi'i kembali ke Makkah al-Mukarromah dan mulai belajar ilmu Fiqh pada Imam Muslim bin Khalid al-Zanji seorang ulama' besar dan Mufti dikota suci itu.Ketika usianya menginjak 15 tahun, As-Syafi'i sudah mnguasai ilmu-ilmu Al-Qur'an, Al-Hadits, Fiqh dan lain-lain. Sehingga oleh sang guru ia dianggap sudah mencapai kapasitas seorang mufti. Dan kemudian ia diijinkan untuk memberikan fatwa kepada masyarakat. Asy-Syafi'i adalah profil ulama' yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang belum diketahuinya.  Syafi'i terus mengejar ilmu yang belum diketahuinya, sehingga banyak sekali ulama' besar yang menjadi gurunya. Imam ibnu Hajar al-'Asqolani menyusun sebuah buku husus yang diberi  nama: Thawali' at-Ta'sis, yang didalamnya menerangkan nama-nama ulama' yang menjadi guru Imam Syafi'i. Diantaranya adalah : Al-Imam Malik bin Anas, Al-Imam Muslim bin Kholid al-Zanji, Al-Imam  Abd. Rohman al-'Attar, Al-Imam Abd. Rahman bin Abi Bakan al-Maliki, Al-Imam Ibrahim bin Sa'id, Al-Imam Sufyan bin 'Uyainah, Al-Imam Ibrahim bin Muhammad, Al-Imam Yahya bin Hasan, Al-Imam Waqi', Al-Imam Fudlail bin 'Iyad,dan pamannya sendiri yaitu Muhammad bin 'Ali bin Syafi'.

Madzhab Syafi'i dan penyebarannya
Sejak awal munculnya hingga kini, madzhab asy-Syafi'I merupakan madzhab yang dominan di Mesir. Karena Mesir merupakan tempat terakhir sang Imam menyabarkan madzhab ini secara intensif, dan diteruskan oleh murid-muridnya. Terlebih lagi pada masa kekuasaan Salahuddin al-Ayyubi (1169-1252) yang terkenal sebagai penganut fanatik imam Syafi'i. Madzhab ini mendapat kesempatan besar untuk berkembang, setelah mengalami masa suram ditangan penguasa mesir sebelumnya yaitu Daulah Fathimiyah. Madzhab ini kemudian dijadikan madzhab penguasa Daulah Mamluk yang seluruh sultanntya bermadzhab Syafi'i. Barulah pada masa Usmaniyah (1517) peradilan di Mesir dilaksanakan hanya dengan madzhab Hanafi karena pemerintah bermadzhab Hanafi. Sementara itu di Irak madzhab ini juga mengalami perkembangan pesat. Disamping oleh murid sang Imam yang langsung belajar darinya, atau belajar dari kitab peninggalannya, juga oleh penguasa setempat yang masih ada hubungan kerabat dengan al-Ayyubi. Dengan dominasi Irak, madzhab ini dengan cepat tersebar di Syam (Suriah). Ahirnya madzhab ini dianut oleh Mayoritas penduduk kawasan timur, seperti Nisabur hingga transoksania (Turmenistan dan Kazakhstan) dan India.  Adapun di Makkah al-Mukarromah dan Madinah al-Munawwaroh, madzhab Syafi'i dan Maliki dapat dikatakan memiliki pengikut yang seimbang karena tempat tersebut adalah tempat pertumbuhan kedua Imam madzhab itu. Madzhab Syafi'i mendominasi penduduk pesisir, sedangkan madzhab Maliki banyak dianut penduduk tengah daratan Hijaz. Untuk kawasan Nusantara dan Timur Jauh, seperti Indonesia di Asia tenggara dan Asia Timur lainnya, madzhab Syafi'I tersebar bersamaan dengan tersebarnya Islam dikawasan ini yang disebabkan oleh adanya kegiatan perdagangan antara pendudk setempat dan para saudagar dari Jazirah Arabia dan India yang pada waktu itu sudah bermadzhab Syafi'i. Adapun di kawasan maghribi yang sudah didominasi oleh madzhab Hanafi dan Maliki,, madzhab Syafi'i kurang mendapat sambutan, bahkan penduduk  ini tidak begitu menyukai asy-Syafi'i yang dianggap mengingkari gurunya, yakni Imam Malik.

Kepribadian Imam Syafi'i
 Segala keutamaan dan keistimewaan seakan tertumpah pada diri Imam Syafi'i ketika beliau hadir di alam fana ini. Mulai dari nasab beliau yang dari bangasawan Quraisy, tempat kelahiran dan pertumbuhan dibumi yang suci, kapasitas keilmuan Imam syafi'i yang luar biasa, serta kepribadian yang tinggi dan sangat lekat dengan sikap akhlaqul karimah, akhlaq rasulullah SAW.
Semangat yang tak kenal lelah dalam nasyrul ilmi sebagai partisipasi perjuangan beliau li'ila'i kalimatillah turut menyempurnakan kepribadian luhur yang beliau miliki. Aktivitas itu dimulai seusai sholat subuh dengan mengadakan majlis pengajian Al-Qur'an hingga matahari menampakkan diri. Kemudian disusul dengan hadirnya ahlul hadits yang berdatangan ke-majlis beliau untuk minta penjelasan tafsir hadits serta ma'na yang terkandung didalamnya. Setelah matahari mulai meninggi, majlis itu terpenuhi orang-orang yang hendak mudzakaroh (tukar pendapat) dan mendalami ilmu. Kemudian setelah siang menjelang, datanglah ahli tata bahasa untuk mendalami ilmu gramatika arab yang baligh dan fashih, hal itu berlangsung sampai pertengahan hari. Setelah itu barulah Imam Syafi'i undur diri, pulang untuk istirahat bersama keluarganya dirumah. Beliau sangatlah disiplin memanfaatkan waktu. Beliau membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian : sepertiga pertama beliau gunakan untu menulis dan ta'liful kutub (mengarang kitab). Sepertiga kedua beliau gunakan untuk sholat dan munajah pada Allah SWT, membaca al-Qur'an dan ritual ibadah yang lain. Dan sepertiga terakhir beliau gunakan untuk istirahat. Imam Syafi'i adalah figur ulama' yang zahid,  makanan, pakaian dan rumahnya sangat identik dengan kesederhanaan. Diriwatatkan bahwa Imam Syafi'i tidak pernah makan kenyang sejak usia 16 tahun, karena dengan perut yang kenyang, tubuh akan menjadi malas, hati menjadi beku, pikiran jadi tumpul dan senantiasa enggan untuk ibadah pada Allah SWT. Ketaatan serta pengabdian Imam Syafi'i pada Allah SWT tidak dapat diragukan lagi, disamping tindak perbuatannya yang selalu mengutamakan akhirat, beliau selalu membawa tongkat layaknya pengembara, dengan tujuan agar tongkat itu selalu mengingatnnya bahwa hidup didunia adalah suatu pengembaraan dan masih mempunyai suatu tujuan yaitu kehidupan abadi diakhirat. Sebagai ulama' yang tempat mengajarnya berpindah-pindah beliau mempunyai banyak sekali murid yang berasal dari berbagai penjuru dunia.  Diantaranya yang terkenal adalah : Al-Rabi' bin Sulaiman Al-Marawi, Abdulloh bin Zubair al-Hamidi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abu Ibrahim, Isma'il bin Yahya al-Muzani, Yunus bin Abd. A'la al-Sadafi, Ahmad bin Sibti, Yahya bin Wazir al-Mishri, Harmalah bin Yahya Abdulloh al-Tujaibi, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin Ali al-Karabisi, Abu Tsaur Ibrahim bin Kholid al-Kalbi, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad al-Sahab al-Za'farani dan banyak lagi yang lain yang berhasil menjadi ulama'- ulama' besar dimasanya.
Pada tahun 198 H. / 813 M. Imam Syafi'I pergi ke Baghdad Irak, yaitu pada masa pemerintahan Al-Ma'mun ( 198-218 H. / 813-833 M.). Sesampainya di sanaImam Syafi'I disambut oleh para ulama' dan pemuka Baghdad yang telah lama merindukan kedatangan beliau. Fatwa-fatwa hasil buah pemikiran dan ijtihad beliau selama di Baghdad dikenal dengan al-Qoul al-Qodim. Kemudian Imam asy- Syafi'i merasa terpanggil untuk memmperluas lagi ladang pengetahuannya. Dengan berbekal semangat dan tekad yang tak kunjung padam, akhirnya Imam Syafi'i memantapkan langkahnya untuk mengembara menuju Mesir. Disana Imam Syafi'iI mulai meneliti dan menelaah lebih dalam lagi ketetapan fatwa-fatwa beliau selama di Baghdad, kemudian muncullah rumrsan-rumusan baru yang kemudian dikenal dengan istilah al-Qoul al-Jadid yang tertulis dalam kitab Al-Umm, Al-Imla', Muhtashor Muzani dan Al-Buwaiti.  Pada usia 54 tahun,Imam Syafi'i akhirnya harus pulang kerahmatullah. Tepatnya hari  Jum'at 30 Rojab 204 H. / 20 Januari 820 M. Beliau dimakamkan dikota Fustat, Cairo, Mesir. Nama besar beliau hingga kini tercatat dengan tinta emas sebagai pendiri madzhab Syafi'i. dan sebagai nama belakang ulama'-ulama' pengarang kitab yang bermadzhab Syafi'i. Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan hujan rahmat pada beliau dan semoga kita sebagai tholibul ilmi,  senantiasa mendapat barokah dari beliau. dan semoga Allah SWT senantiasa menumbuh suburkan benih-benih ilmu yang telah tertabur ditaman sanubari kita semua Amin.

ngaji9.com: Sampaikanlah walaupun hanya setengah ayat !