Al-ghozali lahir di desa Ghazalah, Tus, sebuah kota di Persia dari keluarga yang religius. Ayahnya bernama Muhammad. Seorang faqir yang sholeh. Beliau tidak pernah makan kecuali dari hasil kerjanya sendiri sebagai pemintal dan pedagang kain wol, beliau senantiasa menghadiri majlis-majlis pengajian yang digelar ulama. Berusaha sekuat tenaga agar bisa berbuat bagus pada ulama, dan sedapat mungkin menginfaqkan apa yang lebih dari kebutuhan kepada ulama. Ketika beliau mendengar kata-kata hikmah ulama, beliau menangis dan memohon pada Alloh agar dianugerahi seorang putra yang menjadi ulama. dan ketika beliau mendengar ceramah seorang muballigh beliau menangis dan memohon agar dianugerahi seorang putra yang menjadi muballigh.Kedua doa beliau dikabulkan Alloh SWT, dengan lahirnya dua putra yang kemudian diberi nama Muhammad dan Ahmad. Muhammad yang kemudian menjadi seorang ulama dan Ahmad yang kemudian menjadi seorang muballigh.[1]
طلبنا العلم لغير الله فأبى أن يكون إلا لله
"Aku menuntut ilmu bukan karena Alloh.
Namun kemudian ilmu itu tidak mau kecuali hanya karena Alloh."
Setelah mempelajari dasar-dasar fiqh dikampumg halamannya kepada al-Imam Ahmad al-Rodzikani, Al-Ghozali merantau ke Jurjan. Sebuah kota yang terletak di antara Thabaristan dan Naisabur. Di Jurjan ia memperluas wawasannya tentang fiqh kepada seorang yang 'alim bernama Abu Al-Qosim Isma'il bin Mas'idah al-Isma'ili al-Jurjani (Imam Abu Nasr al-Isma'ili), dari beliaulah Al-ghozali mecatat hal-hal yang dirasa penting baginya, kemudian beliau pulang ke Tus. Dalam perjalan, Al-Ghozali dihadang kawanan perampok yang kemudian merampas dan bembawa lari semua yang dibawanya. Al-Ghozali tidak tinggal diam hanya melihat mereka membawa barangnya. Sekuat tenaga beliau berlari mengejar, karena yang telah dirampas mereka adalah sesuatu yang sangat berharga baginya. Yaitu catatan ilmu yang telah didapatkan dari sang guru, selama ia beristifadah ilmu. Seorang pemimpin perampok menoleh kepada Al-Ghozali dan berkata : Kembalilah kamu ! kalau tidak, kamu akan mati…! Al-Ghozali manjawab Demi dzat yang keselamatan kalian harap dari-Nya, saya minta padamu, kembalikan catatanku !, karena itu bukan sesuatu yang bermanfaat bagi kalian. Pemimpin perampok bertanya : apa isinya ?. Dalam keranjang itu ada catatan-catatan ilmu yang telah aku ketahui dan aku kumpulkan selama aku mengembara" jawab Al-Ghozali yang langsung disambut tawa pemimimpin perampok dihadapannya dan bertanya : Bagaimana mungkin kau berkata mengetahui ilmunya ? sedangkan catatannya ada pada saya, dan sekarang kamu sama sekali sudah melupakannya …! Kemudian dia menyuruh salah satu anak buahnya untuk menyerahkan kembali barang yang telah mereka rampas dari Al-Ghozali. Setelah kejadian itu Al-Ghozali sadar bahwa ilmu pengetahuan itu haruslah dihafalkan bukan hanya ditulis.
العلم في الصدور لا في الستور
"Ilmu itu terdapat didalam dada, bukan didalam buku "
Setelah sampai dikampung halamannya kota Thus, al-Ghozali menghabiskan hari-harinya dengan menghafal ilmu-ilmu yang telah dicatatnya selama ia belajar di kota Jurjan. Setalah ia menghafal semuanya ia berkata : Seandainya catatan-catatanku dirampok aku tetap mengetahuinya dan tidak melupakannya.[2] Kemudian ia melanjutkan belajarnya ke kota Nisabur, yaitu kepada seorang ulama besar, al-Imam abu al-Ma'ali al-Juwaini. Dari ulama yang yang mendapat gelar Imamul Haromain ini, Al-ghozali mendapatkan banyak bidang ilmu, yaitu bidang ilmu hilafiyah, ilmu manthik, ilmu tauhid, dan lain-lain. Dari beliau juga ia belajar ilmu falsafah sehingga dapat memahami pembicaraan filosof-filosof yang tersesat dan dapat menolak kebathilan mereka. Sementara dalam bidang ilmu tasawwuf Al-Ghozali belajar dari dua orang sufi, yaitu : Imam Yusuf an-Nassaj dan imam Abu Ali al-fadl bin Muhammad bin Ali al-Faromadzi.
Setelah Gurunya (Al-Imam Al-Haromain Al-Juwaini) wafat, Al-Ghozali mungunjungi tempat kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintahan Sultan Adud Al-Daulah Alp Arsalan (55 H / 1063 M. – 465 H. / 1072 M.) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465 H. / 1072 M. – 485 H. / 1092 M.) dari dinasti Salajikah di Al-'Askar sebuah kota di Persia . Dikediaman wazir ini terdapat majlis pengajian tempat para ulama bertukar pikiran. Sang wazir sangat kagum terhadap pandangan-pandangan Al-Ghozali, sehingga beliau diminta untuk mengajar di Madrasah An-Nidzomiyah di Baghdad yang didirikannya. Al-Ghozali mengajar di Baghdad mulai tahun 484 H. Karier Al-Ghaozali sebagai seorang guru melejit diatas awan, Kehebatan beliau semakin masyhur dan takdapat tersembunyikan. Sehingga banyak sekali orang-orang yang datang pada beliau untuk beristifadah dan menggali pangetahuan. Yang kemudian majlis beliau terkenal dengan sebutan majlis 300 Sorban.[3] Namun kesohoran justru mmembuat Al-Ghozali resah. Kemasyhuran yang kini beliau rengkuh malah bikin gelisah. Merasa tidak ikhlas karena Alloh didalam nasyrul ilmi, melainkan lebih terdorong oleh keinginan mendapat derajat duniawi. Diatas kemasyhuran yang kini beliau dapati, beliau berkeyaqinan bahwa kini beliau sedang berada ditepi jurang kerusakan yang dalam, dan sangat dekat sekali dengan kebinasaan. Hingga timbullah keinginan untuk segera meninggalkan kota Baghdad . Keinginan itu akhirnya terlaksana setelah empat tahun menetap dikota bersejarah itu, tepatnya pada bulan Dzul Qo'dah tahun 488 H. beliau meninggalkan Baghdad menuju tanah suci, Makkah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah Haji. Sementara tugas mengajar digantikan oleh saudara beliau (Imam Ahmad). Sepulang dari tanah suci, beliau langsung menuju kota Damaskus dan menetap beberapa hari, kemudian pergi ke Baitul Maqdis selama beberapa hari, lalu beliau kembali lagi ke kota Damaskus. Di kota ini Al-Ghozali menghabiskan waktu-waktunya dengan duduk-duduk beri'tikaf di pelabetan gurunya (As-Syaikh Nasr al-Muqoddasi) yang terletak didalm masjid Umawi yang kemudian lebih dikenal dengan masjid Al-Ghozaliyah.[4]Hari-hari terlewatkan dengan dihiasi oleh kesendirian (uzlah) dan menghindar dari kesenangan dunia (riyadloh), untuk menbersihkan hati dan mensucikannya dengan mengingat sang Khaliq Alloh SWT. Berpakaian sederhana, makan dan minum sekadarnya, berzirah kemasjid-masjid untuk beri'tikaf , pergi kemakam-makam orang sholeh untuk mengambil barokah (tabarrukan) dan mengingat kematian ( I'tibar). Pada saat-saat inilah beliau menuangkan pemikiran-pemikiran sufinya dalam sebuah karya tulis yang sangat terkenal diseluruh penjuru dunia, hususnya dikalangan pesantren salaf. Yaitu Kitab Ihya' ulumuddien.[5]
Pemikiran Al-Ghozali dalam bidang fiqih meliputi banyak aspek, seperti ibadah (ubudiyah), politik (fiqh siyasi), dan usul fiqih. Samudra pengetahuannya yang sangat luas, urat pemikirannya yang sistematis, dan terutama sekali ketulusan serta keobyektifannya, membuat Al-Ghozali memiliki hayalak yang sangat luas selama hayatnya. Karya tulisnya dalam berbagai bidang terus berpenguruh kuat pada pemikiran kaum muslim sejak itu. Dewasa ini beliau menjadi salah satu penulis yang sangat diperhatikan oleh sarjana barat maupun muslim dan karena alasan yang layak. Karyanya baik dalam subtansi maupun metode berciri madern sangat menarik pembaca modern.
Al-Imam Abi Al-Qosim Abd. Al-Karim bin Muhammad bim Abd.Al-Karim Al-Rofi’i dalam kitabnya Al-‘Aziz Syarh Al-Wajiz menyebutkan 68 kitab karya Al-ghozali. Diantaranya yang paling populer adalah kitab Ihya' ulumuddin.yang didalamnya penuh isi dengan berbagai bidang ilmu. Al-Ghozali membagi pembahasan dalam kita Ihya’menjadi empat bagian, yaitu (1) Rubu’ al-‘Ibadat. (2) Rubu’ al-‘Adat. (3) Rubu’ al-Muhlikat. (4) Rubu’ al-Munjiyat. Yang mengulas tentang ahlaq-ahlaq terpuji dan perbuatan-perbuatan yang disenangi.
Teks arab kitab Ihya' yang lengkap diterbitkan dalam edisi lima jilid (Beirut 1991). Belum ada terjemahan Inggris yang baik meskipun banyak dari beberapa karya Al-Ghozali telah diterjemahkan secara terpisah.
Makin tinggi batang pohon menjulang makin kencang angin meniupnya. Demikian juga hal yang di alami Al-Ghozali.
Ternyata masih ada manusia yang tidak mengakui keilmuan Al-Ghozali yang tinggi. Bahkan dia sangat membencinya dan selalu menggunjingnya. Hingga suatu saat orang tersebut mimpi bertemu Baginda Rosululloh SAW. Sayyina Abu Bakar dan Sayyidina umar berada disampingnya. Sedangkan Al-Ghozali sedang duduk persis didepan Rosululooh SAW dan mengadukanya pada Rosululooh SAW ; "Wahai Rosululoh ! orang ini telah berbicara jelek tentang saya …! Rosululooh SAW. menjawab : " Ambillah cambuk ! dan pukullah dia dengan cambuk itu …! Akhirnya orang tersebut dipukul, karena telah berani membenci dan menggunjing Al-Ghozali. Tersentak dia bangun dan keluar dari mimpinya. Ternyata cambukan dalam mimpinya meninbulkan bekas dipunggungnya. Yang selamanya tidak bisa hilang. Seketika dia menangis dan diceritakannya kejadian itu pada setiap oarang yang dijumpainya.[6] Demikian biografi singkat Imam Ghozali r.a. Semoga kita senantiasa mendapat percikan barokah dari beliau seorang yang dicintai Alloh SWT Amien.
