Habib Abdullah Al-Haddad di dalam kitabnya Ad-Dakwah At-Tammah berkata : telah sampai kepadaku suatu cerita dimana salah seorang raja di negara Maghrib (Maroko) bersenggama dengan istrinya di siang hari bulan ramadlan. Kemudian ia mengumpulkan para ulama' yang ada di negaranya untuk bertanya tentang hukum dari apa yang telah ia lakukan itu.
Ketika semua ulama' sudah berkumpul, ia bertanya tentang hukum atas apa yang telah ia perbuat dan apa yang harus ia lakukan setelahnya. Lantas salah seorang ulama' yang paling alim berkata : "kamu harus berpuasa selama dua bulan secara berurut-urut".
Selesai acara, para ulama' yang menghadiri undangan sang raja bertanya kepada orang yang terkenal sangat alim itu tentang apa yang telah ia fatwakan.
Para ulama' itu berkata : "Mengapa kamu berfatwa kalau sang raja harus berpuasa selama dua bulan berurut-urut, padahal kamu tahu kalau di dalam madzhabnya Imam Malik, seseorang yang bersenggama di siang hari bulan ramadlan diperbolehkan memilih antara memerdekakan budak, puasa atau memberi makan orang fakir miskin ?".
Kemdudian orang yang terkenal sangat alim itu berkata : "Jika saya berfatwa kalau ia diberbolehkan untuk memerdekakan budak atau memberi makan fakir miskin, maka hal yang demikian ini akan sangat remeh untuk ia lakukan. Mungkin jika saya berfatwa demikian ia akan bersenggama di setiap siang hari bulan ramadlan. Adapun puasa selama dua bulan secara berurut-urut baginya adalah sangatlah berat sehinga dengan berfatwa kalau ia harus berpuasa selama dua bulan secara berurutan ini akan membuatnya jera dan ia tidak mengulanginya lagi".
Demikianlah cara ulama' zaman old di dalam berfatwa. Mereka tidak sembarangan mengeluarkan fatwa meskipun sebenarnya mereka tahu kalau ada khilaf atau perbedaan pendapat di dalamnya. Ada perlakuan-perlakuan khusus yang harus dilakukan di dalam masalah khilafiyah. Ada perkara yang sebaiknya dilakukan agar supaya keluar dari khilaf, dan ada pula perkara yang sebaiknya tidak dikerjakan khususnya yang menimbulkan talfiq atau memcampur aduk madzhab.
Banyak sekali pada zaman now ini seorang yang ditokohkan oleh masyarakat dengan sembarangan di dalam mengeluarkan fatwa tanpa di dasari pemahaman-pemahaman yang mengakar kuat di dalam metode berfatwa sebagaimana yang telah dilakukan oleh ulama' zaman dahulu.
Pada zaman now ini ada sebagian orang yang menjadi tokoh masyarakat yang berfatwa bahwa mengucapkan selamat natal itu tidak haram yang tentunya pendapat ini sangat berseberangan dengan pendapat-pendapat ulama' 4 madzhab.
Terkadang fatwanya yang salah karena gagal paham itu di share di media sosial dan telah di like oleh ribuan orang awam yang belum tahu apa-apa tentang hukum islam. Namanya juga orang awam, pastinya ia akan mengikuti pendapat kyainya.
Apabila dibayangkan, jika ada satu orang saja yang mengamalkan fatwanya yang sesat itu, maka ia akan mendapatkan dosanya. Bagaimana lagi jika seribu orang lebih yang melakukan suatu kesalah karena fatwanya yang salah itu. Semoga Allah menjauhkan kita dari hal yang demikian ini.
Oleh karena itu, Abu Bakar Assiddiq berkata ketika ditanya tentang satu ayat daripada Al-Qur'an :
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي، وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي، أَمْ أَيْنَ أَذْهَبُ؟ أَمْ كَيْفَ أَصْنَعُ إِذَا أَنَا قُلْتُ فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، بِغَيْرِ مَا أَرَادَ اللَّهُ.
"Langit mana yang mau menaungiku, dan bumi mana yang mau membawaku, atau kemana aku harus pergi, atau apa yang bisa aku lakukan jika aku berkata tentang satu ayat daripada Al-Qur'an sementara apa yang aku sampaikan itu tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah".
أَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي، وَأَيُّ أَرْضٍ تُقِلُّنِي، أَمْ أَيْنَ أَذْهَبُ؟ أَمْ كَيْفَ أَصْنَعُ إِذَا أَنَا قُلْتُ فِي آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، بِغَيْرِ مَا أَرَادَ اللَّهُ.
"Langit mana yang mau menaungiku, dan bumi mana yang mau membawaku, atau kemana aku harus pergi, atau apa yang bisa aku lakukan jika aku berkata tentang satu ayat daripada Al-Qur'an sementara apa yang aku sampaikan itu tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah".
Oleh karena itu Imam Malik ketika ditanyai 48 masalah hukum, hanya 2 pertanyaan saja yang beliau jawab meskipun pertanyaan yang 46 itu tergolong pertanyaan yang sangat mudah untuk sekelas Imam Malik.
Tak heran jika Nabi bersabda :
أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار
"Paling beraninya kalian di dalam berfatwa, maka itu berarti kalian adalah yang paling berani untuk masuk ke dalam neraka".
أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم على النار
"Paling beraninya kalian di dalam berfatwa, maka itu berarti kalian adalah yang paling berani untuk masuk ke dalam neraka".