I. KELAHIRAN AN-NAWAWI
Abad ke 7 Hijriyah telah melahirkan dua tokoh besar yang namanya akan tetap dikenang dalam sejarah madzhab Syafi'i[1]. Yaitu Al-Imam Al-Rofi'I dan Al-Imam Al-Nawawi, yang keduanya meendapat gelar Al-Syaikhoni dalam literatur fiqh Syafi'iyah. Al-Nawawi adalah seorang yang memiliki karya-karya besar didalam keilmuan, yang zuhud dan nomor wahid di zamannya (Fariidu 'ashrihi). Beliau adalah Abu Zakariya Yahya bin Syrof bin Miro' bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jama' Al-Nawawi. Beliau lahir di kota Nawa (tanah Hauran, Damaskus) dipertengahan abad ke 7 Hijriyah. Tepatnya di bulan Muharram 631 H. Dengan demikian, sebutan Al-Nawawi untuk beliau adalah dinisbatkan pada tanah kelahirannya.
Al-Nawawi diwaktu kecil dididik dengan pengawasan penuh dari ayahnya. Sehingga Al-Nawawi kecil dapat menjaga diri dari keharaman dan semua bentuk pelanggaran Syara'. Sejak masih kecil dia telah menunjukkan tanda-tanda kelak akan menjadi orang besar dan mulia.
Suatu saat di malam 27 Ramadhan, ketika itu ia masih berusia tujuh tahun. Ayahnya menceritakan ; "Malam itu dia (Al-Nawawi) tidur dengan posisi miring (menhadap Qiblat), tengah malam tiba-tiba dia terjaga dan segera ia membangunkannku. Lalu ia berkata "Ayah…! Cahaya apa ini yang menerangi seluruh ruangan rumah kita?". Ia lalu membangunkan juga seluruh keluarga, kami semua tidak melihat apa-apa, hanya dia yang melihat cahaya itu" maka aku baru tahu, bahwa malam itu adalah malam lailatul Qodar.
Tatkala usia Al-Nawawi beranjak 10 tahun, diceritakan bahwa teman-teman sejawatnya semua membencinya. Tidak mau bergurau ataupun bermain dengannya. Tentu hal itu membuat Al-Nawawi merasa sangat sedih. Maka ia tinggalkan teman-temanya dan memutuskan untuk mengisi hari-hari sedihnya dengan memperbanyak membaca Al-Qur'an, dan menjadikannya mencintai Al-Qur'an. Tak begitu lama ia menekuni dan Istiqomah membaca Al-Qur'an, ia diperintah untuk menjaga toko milik ayahnya. Ia pun segera melaksanakan perintah tersebut. Namun ia tetap tidak melupakan kebiasaannya membaca Al-Qur'an disela-sela waktu ketika tidak ada pembeli.
Dalam jangka waktu sekitar empat bulan setengah, Al-Nawawi muda sudah berhasil menghafal kitab Al-Tanbih sedangkan sisa bulan dalam setahun ia gunakan untuk menghafal kitab al-Muhadzdzab, namun hanya seperempatnya.
Al-Nawawi muda memang memiliki kecerdasan yang cemerlang, selain juga tekun menelaah dan mengkaji setiap pelajarannya, nawawi muda menunjukkan kualitasnya itu dalam usia yang relatif muda. Ia sudah mampu mensyarahi (menjabarkan) dam mentashih kitab-kitab karya gurunya. Imam Abu Ibrohim al-Maghrobi.
Al-Nawawi sendiri menceritakan jika setiap hari ia membaca dua belas pelajaran kitab-kitab milik para gurunya, diantaranya Al-Wasith, Al-Muhadzdzab, Al-Majmu', Shahih Muslim, Al-Luma', Islah al-Mantiq, dan lain-lain. Al-Nawawi juga menjelaskan kemusykila-kemusykilan yang ada di kitab-kitab tersebut dan meluaskan ibarot.
Pernah suatu ketika, Al-Nawawi ingin mendalami ilmu kedokteran, dan ia pun sibuk mempelajarinya. Waktu ia kerahkan sebagian besar untuk hal itu. Tiba-tiba kemampuan otaknya yang sangat genius berkurang dan berkurang secara drastis. Hingga ia tidak lagi dapat mempelajari fan-fan keilmuan yang lain. Al-Nawawi bingung akan apa yang terjadi pada dirinya, ia memikirkan apa sebabnya, Kemudian Alloh yang maha pengash mengilhamkan kepadanya, bahwa kecerdasa itu hilang karna kesibukannya memikirkan ilmu kedokteran. Maka seketika itu ia menjual buku-bukuya. Ia buang semua yang ada hubungannya dengan kedokteran. Setelah irtu ia kembali pada keadaan sebelumnya, hatinya kembali bersinar dan kecerdasannya kembali melekat.
"Semoga Alloh subhaanahu waa ta'alamemberkatiku dalam kesibukanku serta selalu menolongku" doa beliau mensyukuri nikmat yang diberikan Alloh kepadanya.
II. GURU-GURU AN-NAWAWI.
Beliau an-Nawawi menimba, bahkan menguras habis ilmu-ilmu dari banyak guru besar. Sehingga beliau menguasai berbagai disiplin ilmu. Guru Fiqh beliau yang pertama adalah Al-Imam Abu Ibrohim Ishaq al-Maghrobi, beliau (Al-Nawawi) sangat disayang oleh sang guru, gerak-geriknya selalu dijaga, serta tuntunan budi pekerti sang guru yang selalu mengawasinya bahkan mengenai kesalahan-kesalahan kecil.
Abu Ibrohim al-Maghrobi kerena kealiman muridnya tersebut mengijinkan karangan karangan kitabnya untuk di tashih.
Kemudian beliau berguru pada al-Imam Abu Muhammad Abd. Rahman al-Muqaddasi (seorang waliyulloh dan menjadi Mufti di Damaskus) Abu Hafsh Umar al-Roba'I al-irbili adalah guru beliau yang ketiga. Adapun al-Imam Abu al-Hasan al-Irbili adalah guru beiau selanjutnya. Al-Nawawi menuturkan pula silsilah sanad ilmu para gurunya tersebut yang terus bersambung kepada Imamuna Al-Syafi'i dan berlanjut kepada Baginda Nabi Muhammad Sholla allohu alaih wa sallama sang pembawa Syari'at.
Dalam fan usul fiqih, salah satu guru beliau adalah Al-Qodli umar Al-tafisi yang membacakan kitap Al- muntakhob karangan Al-imam Al-Rozi dan sebagian kitab Ai-muntakhob karangan imam a-Rozi dan sebagian kitab Al-Mustashfa karya al-Ghozali.
Sebenarnya, masih banyak lagi guru-guru beliau yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatunya karena keterbatasan tempat.
III. KAROMAH AN-NAWAWI
Beliau adalah salah satu wali qutub. Pantaslah bila Alloh subhanahu wa ta'ala memberi beliau banyak karomah. Sekelumit diantara karomah beliau adalah, disebutkan oleh al-Syaikh Al-'Arif billah Abu al-Hasan yang tinggal di luar kota Damaskus. Kala itu kaki Abu al-Hasan terserang penyakit yang amat menyiksa, penyakit itu amatlah parah. Para tabib sudah angkat tangan para dokterpun diam seribu bahasa, seakan tak mampu mengikhtiyarkan kesembuhannya. Setiap malam beliau tidak dapat tidur, kerena menanggung sakit pada jasadnya. Suatu saat datanglah Al-Nawawi menjenguknya dan menasehatinya agar tetap bersabar. Di saat Al-Nawawi sedang berbicara, tiba-tiba rasa sakit itu berangsur reda, hingga hilang sama sekali.
Diantara karomah beliau yang lain adalah, beliau pernah bercerita; "Suatu ketika pada waktu aku di madrasah, aku mengalami sakit, ayahku, teman-temanku dan kerabatku sama tidur di sekelilingku. Tiba-tiba aku merasa ingin berdzikir, maka aku duduk dan membaca tasbih. Lalu aku melihat sosok orang tua tampan yang sedang wudhu' di jedingan. Kemudian ia menghampiriku dan berkata" Hai anakku, jangan kau berdzikir sehingga kau gaduh dan membangunkan orang-orang yang sedang tidur disekelilingmu" Maka aku merasa kalau ia adalah Iblis. Lalu aku membaca ta'awwudz seraya megeraskan suara membaca tasbih. Lalu orang tua tersebut pergi dan orang disekellingku terbangun karena suaraku. Lalu aku mengamati pintu Madrasah yang ternyata masih terkunci. Akhirnya mereka semua membaca tasbih mengikutiku.
IV. KITAB-KITAB AN-NAWAWI
Seluruh hidup an-Nawawi dipersembahkan untuk Ilmu. Tak pelak, karya-karya monuental mampu beliau ciptakan. Bidang ilmu Hadits, Fiqh maupun Sastra. Tak kurang dari 30 puluh judul ktab yang beliau karang. Minhaj al-Thalibien adalah salah satu karya Al-Nawawi. Kecil bentuknya, namun memuat intisari dari literatur Fiqih Syafi'iyah. Setelah mempelajari isi kitab ini, tidak seikit para Ulama yang berinisiatif untuk mengomentari (syarah) atau meresume (ikhtishar). Diantara Ulama yang meresume Al-Minjah adalah Syaikhul Islam Atsiruddin Abu Hayyan Muhammad bin Yusuf Al-Andalusi yang diberu judul "Al-Wahhaj fi Ikhtishar al-Minhaj". Yang kedua adalah Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari yang diberi judul "Manhaj al-Tullab" yang kemudian disyarah menjadi kitab Fath al-Wahhab. Dan yang ke tiga adalah Syaikhul Islam Muhammad bin Ahmad abdul Bari Al-Ahdal dengan judul "Miftah al-Bab"
Sedangkan Ulama yang mengomentari kitab Al-Minhaj diantaranya adalah : Al-Imam Shofiyuddin Ahmad bin Ahmad Al-Aqfahaysi dengan judul "Bahrul Mawaj li Syarhil Minhaj". Al-Imam Muhammad bin Abdulloh Al-Zarkasyi dengan Judul "Addaibaz"Al-Imam Al-Qudwah Sirojuddin Umar bin Ruslan Al-Bulqini dengan judul "Tashhibul Minhaj" Al-Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dengan judul "Duruttaj fi I'robi musykilil Minhaj" Al-Imam Bahruddin Muhammad bn Fahruddin Al-Abar Al-Murodi dengan judul "Bahrul Mawaj" (14 jilid) Al-Imam Jamaluddin Muhammad bin Musa Al-Damiri dengan judul "Rojmul Mawaj" Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Ahmad bin Qodhi Syuhbah serta putranya Badruddin Abdul Fadhol yang dikenal dengan Ibnu Qodhi Syuhbah yang pertama berjudul "Bidayatul Muhtaj" dan yang kedua berjudul "Irsyadul Muhtaj". Al-Imam Syihabuddin bin Ahmad bin Hajar al-Haitami dengan judul "Tuhfatul Muhtaj". Al-Imam Ahmad al-Romli dengan judul "Nihayatul Muhtaj". Al-Imam Muhammad al-Khotib al-Syarbini dengan judul "Mughnil Muhtaj" juga masih banyak yang lain.
Karya Al-Nawawi yang lain adalah : Riyadh al-Solihin, Al-Adzkar, Kitab al-Arba'in, Al-Irsyad, Al-'Umdah, Al-Tahrir, Al-Majmu', dan masih banyak lagi. [4]
V. AKHIR HAYAT AN-NAWAWI.
Seluruh anuggrah nafas Al-Nawawi seakan hanya diabdikan untuk ilmu. Hari-harinya tiada terlewatkan tampa goresan ilmu. Sehingga beliau tidak pernah berniat untuk menjalin kehidupan rumah tangga dan mempunyai keluarga. Entah apa yang membuat beliau memilih jalan membujang sampai beliau wafat. Mungkin beliau tidak ingin waktunya terbengkalai dengan memikirkan hal selain ilmu. Dalam catatan sejarah satu lagi tokoh besar Islam yang membujang sampai wafat, beliau adalah Waliyulloh Ma'ruf Al-Karkhi.[5]
Sebelum beliau wafat, beliau sempat ziarah ke Bait al-Maqdis dan makam Rosululloh shalla Allohu 'alahi wa Sallam. Sekembali beliau dari ziarah, beliau sakit dan menetap dirumah sang ayah, Nawa. Empat hari sebelum beliau wafat, beliau sembuh. Dan pada sepertiga malam yang akhir, pada malam Rabu tangal 24 Rojab 676 H. beliau sang pakar ilmu telah menghembuskan nafasnya yang terakhir dan berpulang ke Rohmatulloh subhanahu wa ta'alaa. dalam usia 45 tahun. An-Nawawi yang juga murid Ibnu Malik telah tiada. Namun ilmu beliau akan tetap hidup dan akan senantiasa disaksikan oleh generasi umat berikutnya. Semoga kita senantiasa mendapat barokah ilmu beliau Amien…
